Sabtu, April 26, 2008

HUTAN ADALAH DARAH DAN JIWA DAYAK


oleh Edi Petebang
Dimuat dalam Majalah Tiras Edisi Agustus 1997 dan di dalam buku "Hutan Darah dan Jiwa Dayak", yang diterbitkan Program Pemberdayaan Sistem Hutan Kerakyatan, Pontianak, 2000

Hutan bagi masyarakat Dayak merupakan dunia atau kehidupan mereka. Kedudukan dan peranan hutan seperti itulah yang mendorong petani Dayak meman­faatkan hutan di seitar mereka dam sekaligus menum­buhkan komitmen untuk menjaga kelestariannya demi keberadaan dan kelanjutan hiudp hutan itu sendiri, kehidupan mereka sebagai individu dan kelompok, dan juga demi hubungan baik mereka dengan alam dan Tuhan mereka. Untuk melaksanakan tugas dan komitmen diatas, masyarakat Dayak dibekali dengan mekanisme alamiah dan nilai budaya yang mendukung peman­faatan hutan demi kelanjutan hidup dan peles­tarian alam.

Menurut pandangan orang Dayak hutan dengan segala isinya (termasuk di dalamnya sungai, dan semua binatangnya) berhubungan erat dengan manusia yang terungkap dalam sistem adat istadat dan budaya mereka. Menurut Timanggong Miden, kisah penciptaan versi Dayak tidak bisa dipisahkan dari hutan. "Hutan dengan segal isinya juga tempat pengungkapan rasa terima kasih kami pada Yang Kuasa," tutur Timanggong Miden. Oleh karenaya diperlukan perlakuan-perlakuan atau ketentuan yang mengatur agar keseimbangan dan keserasian tetap terperlihara.

"Masyarakat Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak tanah dan hutan beserta isinya secara intensional. Hutan, bumi, seluruh lingku­ngan, serta semua makhluk hidup diatasnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup itu sendiri. Sebe­lum mengambil sesuatu dari alam, manusia Dayak selalu memberi terlebih dahulu kepada penunggu hutan,"tutur Loir Botor Dingit, Kepala Adat Besar Dayak Bentian di Kaltim.

Sebagai contoh, menurut penerima Goldman Environment tahun 1997 ini, jika ingin membuka lahanbaru untuk ladang, terutama menggarap hutan perawan, harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Yakni: (1) Memberitahukan maksudnya kepada kepala suku atau kepala adat, (2) Seorang/beberapa orang ditugasi mencari hutan yang cocok dengan membaca tanda-tanda alam. (3) Jika sudah ditemu­kan kawasan hutan yang cocok, diadakan upacara adat pembukaan seba­gai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi mereka hidup, dan berharap agar hutan yang dibuka berkenan memberi hasil dan melindungi mereka. (4) Untuk membuktikan bahwa mereka mengembalikan apa yang diambil ada ketentuan atau kebiasaan bahwa hutan yang diolah itu hanya digunakan selama 2-3 kali masa panen, kemudian hutan itu harus dibiarkan agar tumbuh lagi setelah 10-15 tahun.

Memang, mata penca­harian orang Dayak selalu berhubungan dengan dengan hutan. Mereka memu­ngut damar dari kayu meranti, mengambil getah merah dari pohon getah merah, mengambil madu dari lebah yang bersarang di pohon. Kalau berburu mereka pergi ke hutan; kalau bertani, mereka terle­bih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan; kalau mereka mengusahakan tanaman perkebunan, mereka cende­rung memilih tanaman yang menye­rupai tanaman hutan, seperti karet, rotan, tengkawang, dan sejenisnya.

Kecenderunan seperti itu menurut Prof. DR. Syamsuni Arman bukanlah kebetulan, tetapi merupa­kan refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya. "Itulah strategi mereka untuk hidup yang telah teruji berabad-abad,"ujar Prof. Syamsuni, dosen Fisipol Univ. Tanjungpura Pontianak.

Mata pencaharian orang Dayak yang berorientasi pada hutan ternyata berpengaruh pula pada kultur material Dayak. Rumah panjang atau rumah penduduk yang masih asli (kini atapnya banyak dari seng) dibuat seluruhnya dari kayu. Tiang, lantai, dinding, atap, pasak, pengikat (sebelum ada paku, rumah diikat dengan rotan atau akar dan dipasak dengan kayu, red.), semuanya diambil di hutan. Alat angkut berupa sampan dibuat dengan mengeruk batang pohon. Peralatan kerja dan senjata, seperti kapak, beliung, parang, bakul, tkar, mandau, perisai, sumpitan, senjata lantak dan lain-lain. semuanya dibuat dari kayu (paling tidak sebagian) dari bahan-bahan yang diambil di hutan.

Kebudayaan non material Dayak juga banyak berhubungan dengan hutan. Cerita rakyat yang hidup di kalangan etnik Dayak bertutur tentang kehidupan di hutan atau sekitar hutan, bahkan pohon-pohon besar, atau spesies kay tertentu dpandnag sebgaai perlam­bang kekuatan mistik. Banyak jenis pohon yang tidak boleh ditebang karena diyakini tempat bersemayam Tuhan mereka. Seni tari, nyanyi, ukir, pahat, dll. semua­nya berhu­bungan dengan burung-burung dan makhluk kasar dan halus yang berdiam di hutan.

Ada paham yang hidup dalam masyarakat Dayak, bahwa hancurnya hutan akan menghancur kan kehi­dupan ideologi, budaya, sosial, dan ekonomi mereka. Dan bahkan Jubata, Duwata (Tuhan-Red.) akan mengu­tuk manusia yang menghancurkan hutan.

Korelasi adikodrati antara manusia dengan hutan dilambangkan dalam mite-mite. Salah satu mite dalam masyarakat Dayak Ngaju di Kalteng, bahwa Petara (Yang Kuasa) bersama istrinya mencipkan menciptakan pasangan manusia dari pohon Pisang Bangkit, darah­nya dibuat dari getah Pohon Kum­pang. Lambang-lambang mistik yang ditemukan berkaitan dengan hutan. Seperti Kayu Ara, Pasang Rura, Pi sang Bangkit, Batang Garing, Pohon Kum­pang, Akar, Tulang Daun, dan sebagainya. Semuanya menggambarkan keter­kaitan manusia dengan hutan.

Hubungan antara orang Dayak dan hutan dengan segala isinya menurut teori ekologi modern merupa­kan hubungan timbal balik. Di satu sisi alam membe­rikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkem­bangan budaya orang Dayak, di lain pihak orang senantiasa mengubah wajah hutan itu sesuai dengan pola budaya yang dianutnya.

Menurut Prof. Syamsuni ada dua kekuatan besar yang akan mengubah drastis kebudayaan Dayak. Yakni, pertama perubahan ekologi hutan baik secara kuantitaif maupun secara kualitatif sehingga hubu­ngan sosial dibina diatasnya akan mengalami perubahan juga. Kedua, berubahnya orientasi orang Dayak sehing­ga ketergantungan mereka terhadap hutan makin berkurang.

Menurut Ave dan King (1986) tradisi utama orang Dayak adalah berladang (shifthing cultivation atau swidden). Sebab semua ornag Dayak di pedalaman pasti berladang. Hampir tidak ada orang Dayak nelayan. Bukan berladang berpindah, tapi berladang gilir balik. Petani berpindah ke lahan lain untuk memberikan kesempatan ke lahan bekas ladang itu cukup tua (10-15 tahun) kemudian diladangi lagi. Sistem pertanian ini merupakan jawaban yang tepat bagi perjuangan mempertahankan kehidupan diatas tanah yang relatif kurang subur.

Menurut Prof. DR. Syarif I. Alqadri, pertanian ladang ini tidak dapat dituding sebagai sumber kerusakan hutan. Daur perladangan (10-15 tahun) secara teratur menyebabkan hutan subur berkelan­jutan. Beberapa pakar kehutaan percaya bahwa perladangan di sekitar hutan pada dasarnya secara ekologis tidak merusak hutan, karena para peladang yang sudah berabad-abad mempraktikkan cara itu, tidak akan menghabiskan hutan.

Bagi masyarakat Dayak sendiri, hubungan antara hutan, ladang dan Tuhan sangat jelas. Jika ladang mereka tidak membuahkan hasil seperti yang diharap­kan, maka berarti Tuhan marah karena manusia tidak memelihara hutan dan segala isinya.Dengan semakin sempitnya lahan perladangan seperti kini, karena kegiatan yang membabat hutan dalam skala luas oleh HPH, perkebunan besar (kebun kelapa sawit, coklat, karet), transmigrasi, hutan tanaman industri, dan industri lainnya secara langsung akan mengancam eksistensi orang Dayak.

"Proses penghancuran terhadap eksistensi Dayak sudah berlangsung lama, sejak makhluk yang bernama "pembangunan" masuk dalam kehidupan orang Dayak," umpat Stepanus Djuweng, Direktur Instute of Dayakology Research and Development (IDRD) Pontianak.

Hutan Adalah Darah dan Jiwa Dayak

Masyarakat Dayak sangat arif mengelola lingku­ngan hidup. Misalnya masyarakat Dayak Kanayatn di kabupaten Pontianak. Dalam lingkung­an satu Binua atau kawasan yang disebut pasaroh palaya -bhs. Dayak Kanayatn, terdapat bermacam-macam nama penge­lompokan peng gu­naan tanah dan sungai demi untuk memper ta­hankan keutuhan lingkungan hidup untuk kesejahteraan masyarakat adat yang berdo­misili di dalamnya.

Pengelompokan tanah tersebut antara lain lahan kering/tanah pangkuma mototn dan lahan basah/tanah pangkuma bancah. Di samping itu ada juga tanah kompokng binua, kompokng parene'an, udas pakarangan atau hutan lindung adat di Binua Talaga. Umpamanya saja Udas Saranakng dan Udas Kanuis yang termasuk hutan lindung di Binua Talaga.

Untuk melindungi hutan tersebut diatas, diada­kan upacara adat yang disebut Adat pangkarah. Adat pangkarah artinya sumpah janji secara adat untuk mempertahankan lingku­ngan hidup dan untuk mempertahankan keaneka­ragaman hayati di dalamnya.

Sumpah janji di atas berbunyi demikian "kayu dan pohon untuk ramuan rumah boleh diambil hasilnya asal saja penebangannya secara terbatas. Damar rotan dan madu juga boleh diambil hasilnya, dan binatang buruan juga boleh diburu, di sungai juga ikannya boleh ditangkap untuk makanan, selebihnya dapat dijual untuk keperluan sehari-ha ri, asal penang­kapannya jangan menggunakan tuba atau racun".

Tentang hutan lindung tersebut di atas, dilarang keras untuk dijadikan lahan perla­dangan. Barang siapa yang melanggar sumpah janji tersebut, tentu saja si pelakunya dapat dihukum adat siam panga­labur dengan materi adatnya sabuah siam pahar batanung jalu dua lear. Dan pelanggaran tersebut tidak boleh diteruskan. Andai kata si pelanggar bersikeras tidak mau membayar hukum adat, oknum tersebut akan ditimpa malapetaka atau musibah tujuh di darat dan tujuh di laut. Sehingga mengaki­batkan kehidupan si pelanggar tidak sempurna sampai pada keturunan yang ketujuh.

Musibahnya ialah seperti bahasa daerah mengatakan: Ia ngago' jukut ampanya ngago' gutu ka' ijuk. Bagago' padi baras ampanya nagor dadak ka'dinikng. Kecuali yang bersang­kutan dapat menaburinya dengan hati burung tingkakok dan menanam otak kayo barulah yang bersangkutan dapat terlepas dari malape­takanya.

Sebagai pengukuhan sumpah janji adat, maka oleh nenek moyang jaman dahulu, dilaksana­kanlah upacara "adat Pangkarah" dengan materi adatnya satu ekor babi satu ekor ayam berbulu merah satu ekor anjing berbulu hitam dan satu buah kundur atau gamang. Kundur dengan tiga macam darah binatang tadi kemudian disatukan dan dibungkus dengan daun rinyuang merah. Setelah itu ditanam dalam tanah di lokasi hutan lindung yang sudah ditentukan batas-batasnya atas kesepakatan bersama.

Latar belakang perlunya perlindungan hutan oleh nenek moyang jaman dulu karena hutan dan sungai mereka anggap sebagai "rumah" bersama dan sebagai "milik" bersama.

Tanah dan sungai adalah sebagai Ibu dan Ayah kita.Dari sanalah kita hidup dan berkembang. Air yang mengalir sebagai nafas yang memberi kehidupan yang segar kepada manusia dan mahluk lainnya.

Sangat sesuai dengan ucapan doa Imam Panyangahatn (dukun) di tiap-tiap upacara adat Naik Dango atau Baroah yang berbunyi demikian (bahasa Dayak Kanayatn):

Kami bapinta" ka" ai' ka' tanah, ka' panyugu ka' kadiaman, ka' pasro palaya' ka' paranti paraupm, Ka' miakng dano pasak sunge kayu' batangan, ka' miakng ongkol tingkumu', ka' miakng bukit pana­mukng, ka' kompokng ka' loboh, ka' mata'ari ka' buah bulatn, ka' biti' bintakng nang jaji pangada' bahuma batahutn. Baiknya bin takng pangada' bintakng pangorok pati ra'akng bintakng kobo kamanu, bin takng parantika bintakng jorokng. Sampe unang kami bapinta' ka' ne' Nange ka' ne' Patamapa' nang nonokng ngalompa' kami talino manusia nang mula idup nang mula jaji nabi Adam Siti Awa. Ka' ene' Daniang Jubata nang tu rutn di Ba­wakng ngkoa nang Tuhan nabi nang yak kami minta'a' tanah jaji pahokng nang sapok ai' nang limaukng nang manse nang dingin nang sajok.

Maksudnya, doa ini minta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tanah menjadi subur. Apa saja sifat tanaman yang ditanam oleh manusia pasti tumbuh dan berkembang dan berbuah dengan hasil yang memuaskan.

Demikian juga dengan air diminta supaya sejuk dingin dan bening supaya menjadi kesegaran kepada setiap mahluk yang hidup yang memerlukannya. Setelah kita merenungkan doa Imam Panyangahatn, seperti diatas ini, barulah kita mengerti arti dan maknanya. Artinya keu­tuhan lingkungan hidup itu utama. Pemahaman ini sesuai dengan pandangan nenek moyang, alam tidak dipandang sebagai asset atau keka yaan semata-mata melainkan sebagai "rumah" bersama.

Ungkapan ini sangat jelas dalam setiap upacara yang mendahului kegiatan tertentu dimana selalu terdapat unsur permisi/pamit pada penghuni alam ini. Bahkan dalam memilih lahan yang akan digarap sebagai lokasi ladang yang baru pada intinya adalah meminta ijin dari penghuni lokasi yang akan digarap.

Suara burung tertentu atau binatang tertentu menjadi sarana komunikasi antara manusia de­ngan penghuni alam yang lain. Dengan memperlakukan sebagai "rumah" bersama dan sebagai "milik" bersama pula antara manusia dan mahluk lain, maka perlakuan terhadap alam juga menjadi berbeda.

Alam tidak hanya diperlukan hanya semata-mata untuk manusia saja atau hanya demi kepentingan manusia semata, melainkan juga untuk mahluk lainnya. Kare­nanya kegiatan yang eksploitatif selalu dihindari demi menjaga keharmo­nisan antara manusia dengan penghuni alam lainnya.