Senin, Mei 26, 2008

Hak Kolektif Rakyat

Oleh : M. Ridha Saleh

Masalah hak-hak kolektif dengan subyek hukum hak-hak dalam hukum HAM internasional, hingga kini terdapat dikotomi antara individu dan kolektif sebagai subyek hukum. Konsep klasik HAM hanya mengakui individu sebagai subyek HAM. Dalam konsep ini, hak-hak kelompok dianggap secara otomatis terlindungi apabila hak-hak individu telah terlindungi. Menurut teori klasik, hanya hak-hak yang dimiliki oleh manusia individu saja yang dapat disebut HAM. Suatu hak yang dimiliki oleh sebuah entitas, walaupun mungkin sangat dibutuhkan, dapat diterima dan bahkan ditegakkan. Hak-hak tersebut bukanlah HAM, bahkan apabila hak-hak itu dianggap berasal dari sebuah kolektivitas, seperti negara, kelompok minoritas, hak-hak tersebut masih lebih dilihat sebagai sesuatu yang melekat pada individu para anggotanya dari pada entitas-entitas tersebut.

Dalam perkembangannya kemudian, kelompok atau kolektif diakui sebagai subjek hukum HAM. Hal ini karena tidak sepenuhnya benar bahwa hak kolektif dalam segala hal diperhatikan melalui perlindungan hak individu.

Menurut Ian Brownlie, tidak benar bahwa hak-hak kelompok dalam segala hal diperhatikan ataupun terjamin melalui perlindungan hak-hak individu. Menurutnya, ada tuntutan-tuntutan tertentu yang mengandung soal-soal yang tidak secara memadai dicakup oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi individu-individu.

Brownlie mengidentifikasikan sedikitnya terdapat tiga macam tuntutan seperti itu, yaitu: pertama, adalah tuntutan bagi tindakan positif guna mempertahankan identitas budaya dan bahasa dari suatu komunitas tertentu, terutama ketika para anggota komunitas yang bersangkutan secara teritorial terpencar-pencar hingga tingkat tertentu. Kedua, adalah tuntutan-tuntutan untuk mendapatkan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak atas tanah di daerah-daerah tradisional. Ketiga, adalah berkaitan dengan asas penentuan nasib sendiri yang bersifat politis dan hukum, yang penyelenggaraannya melibatkan suatu model politik tertentu, termasuk pemilikan status negara yang independen atau suatu bentuk otonomi atau Status Negara Serikat.

Ketiga macam tuntutan yang disampaikan Brownlie itu memang tidak mencamtumkan lingkungan hidup sebagai hak kolektif. Akan tetapi, secara eksplisit, ketiga tuntutan yang disampaikan oleh Brownlie merupakan lingkup dari kajian-kajian HAL.

Misalnya saja, pengalaman-pengalaman politik yang terjadi pada masyarakat pribumi yang menuntut atas kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri, pada umumnya, dilatarbelakangi oleh tuntutan dan upaya-upaya untuk memperjuangkan HAL sebagai sumber kehidupnya. Identitas budaya, hak atas tanah, dan kekayaan alam lainnya, merupakan bagian yang sangat menentukan bagi sistem lingkungan hidup. Sebagaimana disebutkan dalam tulisan ini, bahwa lingkungan hidup menyangkut keseluruhan sumber-sumber kehidupan manusia yang mencakup masa lalu, kini, dan yang akan datang.

Jika kita memakai pikiran yang telah disampaikan Brownlie tersebut, maka menunjukkan hal tertentu dari pendekatan klasik dalam memperjuangkan dan perlindungan hak-hak kelompok. Maka konsep HAM dalam konteks perlindungan dan pemenuhan tentu melingkupi pada hak individu dan hak-hak kelompok, di mana kepentingan individu dan kelompok dalam beberapa hal tertentu juga bersatu padu sehingga praktis tidak perlu mendapat pendikotomian.

Sejalan dengan Ian Brownlie, adalah Paul Sieghart, telah mengidentifikasikan sedikitnya enam golongan hak-hak kolektif. Hak-hak tersebut antara lain:

1. Hak atas penentuan nasib sendiri,
2. Hak atas perdamaian dan keamanan internasional,
3. Hak untuk menggunakan kekayaan dan sumberdaya alam,
4. Hak atas pembangunan,
5. Hak kaum minoritas, dan
6. Hak Atas Lingkungan

HAL sangat terkait dengan hak kolektif rakyat sebagai pencapaian kualitas hidup tertinggi manusia. Seperti halnya Konsep HAM Modern telah memberikan penekanan khusus pada persamaan.12

Jika melihat teksturnya, ada dua lapisan tekstur hak kolektif dalam melihat konteks HAL sebagai hak asasi rakyat, yaitu hak kolektif struktural dan hak kolektif kultural. Yang dimaksud dengan hak kolektif struktural adalah hak rakyat dalam suatu teritorial negara ditetapkan berdasarkan regulasi negara secara kolektif dan menjadi kewajiban negara dalam menjamin, melindungi serta memenuhi, rakyat secara politik berhak ikut menentukan semua bentuk pembangunan dan menikmati lingkungan hidup berdasarkan pada standar kehidupan yang diinginkan rakyatnya, seperti pemenuhan atas kebutuhan pembangunan, pemenuhan atas kesejahteraan serta pemenuhan atas keadilan sosial.

Sedangkan, hak kolektif kultural merupakan sebuah sistem yang telah menjadi identitas sosial dan budaya dalam suatu komunitas tertentu. Sistem tersebut memiliki latar belakang sejarah yang mengandung nilai-nilai tertentu, sebagaimana telah menjadi bahagian tata kehidupan di masa lalu, masa kini, dan diyakini sebagai pilihan hidup untuk dipertahankan bagi kehidupan di masa mendatang. Seperti hak-hak komunal bagi masyarakat adat.

Penjahat dan Kejahatan Lingkungan

Oleh : M. Ridha Saleh

Dalam definisi yang dipublikasikan oleh WALHI (Mei, 2004), Penjahat Lingkungan adalah Orang atau Lembaga yang melakukan Tindakan Perampasan atau penghilangan HAL dan sumber-sumber kehidupan rakyat yang dilakukan secara langsung melalui pengaruh, kekuatan modal, kekuatan politik dan kekuasaan (posisi-jabatan) di dalam suatu badan usaha/pemerintahan atau TNI – POLRI yang menimbulkan dan mengakibatkan pengrusakan atau pemusnahan, secara terus-menerus, lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat (ecocida) serta ancaman terhadap keamanan hidup manusia (human security).

Definisi ini dimaksudkan untuk mempertegas sejumlah tindak kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh sejumlah aktor. Banyak dari mereka telah terlibat dalam praktek kejahatan lingkungan tetapi tidak mendapatkan sanksi hukum, politik yang setara. Bahkan, para penjahat lingkungan tersebut, terkesan kebal hukum di negara ini, karena regulasi lingkungan hidup tidak begitu tegas mengatur tentang para penjahat lingkungan.

Kejahatan lingkungan hidup telah diatur dalam Undang-Undang No 23 tahun 1997. Bab yang mengatur tentang ketentuan pidana dicantumkan dalam Bab IX dalam undang-undang tersebut, meliputi pasal 41 sampai dengan pasal 48. Pasal 48 menyatakan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab IX adalah kejahatan.

Sayang sekali, dalam undang-undang tersebut tidak didefinisikan apa yang dimaksud dengan kejahatan lingkungan hidup. Yang didefinisikan di dalam undang-undang ini hanyalah kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat 14, yaitu Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan; dengan demikian pasal 48 UU PLH adalah kejahatan tanpa ada definisi.

Dengan segala kontradiksinya, UU 41/1999 tentang Kehutanan telah mendefinisikan paling sedikit 13 kategori aktivitas kejahatan yang terkait dengan kehutanan yang dapat dihukum minimal selama 5 tahun dan denda antara Rp 5-10 milyar. Beberapa dari aktivitas tersebut di antaranya adalah:

* Merusak infrastruktur yang digunakan untuk perlindungan hutan;
* Terlibat di dalam kegiatan yang mendukung degradasi hutan;
* Menggunakan atau menempati sebagian dari Kawasan Hutan tanpa persetujuan Menteri;
* Menebang pohon dalam batas 500 meter dari tepi waduk atau danau;
* Membakar hutan;
* Memanen hasil hutan tanpa memiliki izin atau hak;
* Menambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;
* Mengangkut hasil hutan tanpa dokumen yang sah;
* Membawa peralatan berat ke kawasan hutan tanpa memiliki izin.

Dalam makalah yang disampaikan pad akesempatan diskusi kejahatan Lingkungan, Sunarwiatai Sartomo juga telah mendefinisikan Kejahatan lingkungan sebagai berikut: "Perbuatan melawan hukum berupa pencemaran dan atau perusakan atas lingkungan hidup baik lingkungan alam/fisik, lingkungan buatan, maupun lingkungan sosial-budaya, yang dilakukan oleh anggota masyarakat atau badan hukum."21

Menurutnya, ditinjau dari perspektif kriminologi, kejahatan lingkungan cukup unik dibanding dengan jenis kejahatan lain, baik kejahatan konvensional maupun kejahatan kontemporer. Beberapa unsur kajian dalam kriminologi, seperti unsur pelaku, korban, dan reaksi sosial yang selalu menjadi bahasan utama, memperjelas keunikan dari kejahatan lingkungan.22

Berikut disajikannya perbandingan kejahatan antar-kejahatan konvensional dan kejahatan kontemporer dengan kejahatan lingkungan.23

No Unsur Kejahatan Konvensional/Kontemporer Kejahatan Lingkungan
1 Pelaku Individu Kolektif Kolektif
2 Korban Idem Idem
3 Reaksi Sosial Langsung dan Segera Tidak Langsung dan Lamban
4 Pembuktian Langsung Cepat dan Mudah Sulit dan Jangka Panjang

Kementerian Lingkungan Hidup telah mengusulkan peradilan lingkungan hidup dilakukan melalui terobosan dengan hakim datasering. Pada tahun 2004, telah ditandatangani bersama oleh Mahkamah Agung, POLRI, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Lingkungan Hidup adalah peradilan satu atap.

Hal ini memang masih dicurigai belum dapat menindak secara tegas pelaku-pelaku kejahatan lingkungn dan menjawab tantangan penegakan hak atas lingkungan. Begitu pun pemulihan lingkungan hidup, bahkan dalam peradilan tersebut, pendekatan yang dilakukan dalam menjerat para pelaku tindak pidana lingkungan masih berdasarkan pada aturan main yang konvensional, yang memungkinkan pelaku ingkar, kalaupun dapat bertanggung jawab mungkin hanya sebatas pada tanggung jawab fisik atas lingkungan, lalu bagaimana dengan gejala-gejala sosial yang terjadi akibat kerusakan lingkungan tersebut.

Karena rumitnya pembuktian pelaku tindak kejahatan lingkungan, kasus-kasus kerusakan lingkungan hidup harus dilakukan upaya yang memposisikan kejahatan lingkungan hidup dalam kategori extra ordinary crime dengan mengacu pada undang-undang khusus tentang lingkungan hidup di mana undang-undang tersebut mencantumkan secara tegas apa yang dimaksudkan dengan kejahatan lingkungan hidup.

Dalam rangka penegakan hukum atau memberikan dampak penjeraan bagi para penjahat lingkungan. Saat ini, WALHI sedang melakukan pengkajian berbagai kemungkinan upaya hukum yang lebih tegas menindak para penjahat lingkungan melalui peradilan AD HOC bagi kejahatan lingkungan demi ditegakkannya hukum, keadilan sosial dan ekologi, keberlanjutan kehidupan masyarakat dan penenuhan HAL, khususnya bagi masyarakat yang bertahun-tahun belakangan ini didiskriminasi hak-haknya.