Selasa, Mei 05, 2009

Dilema Transformasi Kaum Muda Intelektual


Ada adagium yang menyatakan bahwa untuk melihat masa depan dari suatu negara bangsa maka lihatlah kaum mudanya. Kaum muda memang fenomenal, gerak sejarah republik ini juga mencatat eksistensi mereka dalam pelbagai peristiwa nasional. Dimulai dari Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan 1945, penggulingan orde lama 1966, hingga reformasi 1998. Dapat dikatakan, kaum muda (intelektual) mampu menunjukkan peranannya sebagai agen transformasi sosial. Namun yang perlu juga dipahami adalah transformasi sosial ini tidak selalu berbentuk gerakan politik atau berkutat pada suprastruktur melainkan juga berupa transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terhadap masyarakat di tingkatan basis struktur. Nah, sejauh manakah peran kaum muda intelektual dalam melakukan transformasi IPTEK? Bagian inilah bila dibandingkan antara keduanya, benar-benar bagai langit dan bumi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai meningkatnya jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi tampaknya semakin menguatkan common sense dalam masyarakat bahwa sekolah tinggi-tinggi tidak menjamin mudah memperoleh pekerjaan; terutama pekerjaan yang sesuai dengan standar keilmuan yang dimiliki. Sekedar diketahui, tahun 2000 jumlah penganggur lulusan perguruan tinggi 277.000 orang (akademi: 184.000); tahun 2001 289.000 (252.000); tahun 2002 270.000 (250.000); tahun 2003 245.000 (200.000); tahun 2004 348.000 (237.000), dan 2005 385.418 (322.836). Walaupun seorang akademisi berusaha menjelaskan panjang lebar bahwa fungsi pendidikan tidak sepragmatis itu, namun bagi masyarakat hanyalah sebuah pretensi belaka.

Sebagai negara berkembang yang dituntut mampu berkompetisi dalam era globalisasi, Indonesia sebenarnya menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (human investment) merupakan komplementator utama bagi pembangunan ekonomi dan politik yang menempati posisi sentral dalam pembangunan nasional. Sistem pendidikan tinggi selama ini diyakini mampu menghasilkan kompetensi sumber daya manusia yang berdaya saing. Oleh sebab itu, ironis jika lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran bahkan angka absolutnya cenderung meningkat per tahun. Secara umum, tingginya jumlah pengangguran seringkali diakibatkan oleh ketidakmampuan dunia kerja mengakomodasi tenaga kerja produktif - dalam konteks ini, lulusan perguruan tinggi. Penulis mencoba berpikir sebaliknya, tingginya jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi dipicu oleh ketidakmampuan (baca: kegagalan) lulusan tersebut dalam menciptakan lapangan kerja. Ada apa dengan sistem pendidikan perguruan tinggi kita?

Menurut penulis, tanpa disadari sistem pendidikan perguruan tinggi di Indonesia masih terjebak dalam perspektif fungsionalis. Seorang fungsionalis; Durkheim, berpandangan bahwa pendidikan sebagai komponen utama pembangunan sumber daya manusia harus berfungsi sebagai wacana transformasi norma-norma dan nilai-nilai masyarakat untuk melestarikan dan memperkuat homogenitas masyarakat melalui konformitas sikap dan keterampilan dengan serangkaian aturan yang dituntut masyarakat. Dalam perspektif ini, pendidikan memrogram kualitas manusia sedemikian rupa agar sesuai dengan logika masyarakat industri dan tuntutan pasar. Manusia merupakan objek yang harus beradaptasi dengan logika sistem industrial yang telah terbangun. Dengan kata lain, basis sistem pendidikan perguruan tinggi kita masih terkonstruksi pada logika pemenuhan produksi (production centered development model).

Seharusnya, sistem pendidikan perguruan tinggi harus mendasarkan dirinya pada human centered development model. Sistem ini sejalan dengan paradigma kritis yang memandang pendidikan harus melakukan refleksi kritis terhadap sistem dominan kemudian melakukan dekonstruksi menuju sistem social yang lebih egaliter. Oleh sebab itu diperlukan ‘pemampuan’ (empowerment) segala potensi manusia dalam membaca dan menganalisa segenap kontradiksi di masyarakat kemudian menemukan solusi alternatif untuk mengatasinya. Sistem ini lebih dari sekedar membentuk intelektual profesional dan kontributif terhadap pembangunan melainkan menuntut pembangkitan kesadaran kritis manusia untuk melakukan transformasi sosial. Dalam bahasa Freire sistem pendidikan ini bertujuan memanusiakan manusia kembali dari proses dehumanisasi.

Keterputusan ini bukannya tidak disadari, bahkan jauh-jauh hari telah diingatkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada Akademi Pembangunan Nasional
di Yogyakarta, 18 Maret 1962 : “…Saudara pada waktu menggali ilmu pengetahuan (praktis) itu tentu telah merasa sendiri bahwa ilmu pengetahuan, sekadar adalah bekal untuk aktif membangun, membantu, menyumbang kepada pembangunan nasional. Lebih dari pada bekal itu masih ada dasar, saudara-saudara, lebih penting daripada bekal itu, adalah satu hal lain, satu dasar. Dan yang dimaksudkan dengan perkataan dasar yaitu karakter. Karakter adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan”. Karakter yang dimaksud oleh Soekarno adalah nalar kritis dalam menginterpretasikan absurditas realitas sosial sehingga mahasiswa mampu memosisikan dirinya benar-benar sebagai agen pembaharu bukan sekedar pion penguat sistem yang telah terbangun.

Kondisi perguruan tinggi di Indonesia memang masih jauh dari cita-cita human centered development. Budaya riset masih rendah, jikapun ada sebagian besar belum memiliki nilai guna yang signifikan terhadap masyarakat. Hal ini dilengkapi dengan dukungan infrastruktur dan finansial yang serba minimal. Sebagai bukti, Tatang H. Soerawidjaja Kepala Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan, Institut Teknologi Bandung mengatakan, setiap tahunnya ITB menghasilkan sekitar 500-an penelitian, namun dari jumlah itu yang bisa diaplikasikan di masyarakat dan dunia industri hanya belasan. Berbeda dengan perguruan tinggi di luar negeri, semisal Jepang dimana semangat riset telah mendorong entrepreneurship dan kreativitas mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk terlibat dalam pembangunan industri nasional. Oleh sebab itu, logis jika tranformasi ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia berjalan sangat lambat, bahkan mulai tertinggal dalam skala regional. Menurut Brian Yuliarto, pada tahun 2004 misalnya, hanya 522 kertas kerja ilmiah karya peneliti Indonesia yang termuat dalam jurnal internasional. Itu hanya sepertiga dari jumlah kertas kerja ilmiah asal Malaysia (1.438). Di lingkungan ASEAN, Indonesia hanya lebih baik daripada Filipina dan Brunei Darussalam, yang jumlah kertas kerja ilmiahnya lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia. Pada tataran ini, perguruan tinggi di Indonesia sebagai pusat pendidikan vokasional akhirnya menjadi fabrikasi dan mekanisasi tenaga kerja tidak produktif (pasif), tanpa sense of inovatif, serta kehilangan nalar kritis dan jiwa entrepreneurship sehingga terjebak untuk taat (obedient) dalam iklim akademis non kritis transformatif.