Minggu, Juni 08, 2008

Nibukng Pamadahatn Ka Jubata.


Hari itu pagi-pagi saya berada di teras rumah tengah menunggu teman-teman yang akan berangkat ke “Nibukng”. Katanya disana akan diadakan ritual “nyangahatn ka paburungan”. Beberapa perlengkapan telah siap di ransel kecil berisi nasi, ikan asin,rokok,dan tidak lupa seikat benih padi.selain itu sebilah parang.
Orang – orang yang ditunngu telah dating. Selain beberapa pemuda yang pergi. Tidak ketinggalan Ne’Usu. Yang dikenal sebagai seorang” Panyangahatn”. Ada pula pak Sesel yang dikenal sebagai “Tuha Tahutn”, yang merupakan anak dari Ne’Usu. Ada Pak Epen. Juga seorang panyangahatn. Dan juga beberapa orang tua lainnya yang ikut bersama kami.
Semua terlihat membawa perlengkapan masing-masing khusus bagi Ne’usu dan pak Sesel. Mereka lebih banyak membawa berbagai barang. Khususnya berbagai perlengkapan “nyangahatn”, namun tidak membuat mereka merasa berat, setelah semua berkumpul maka kami langsung berangkat tempat yang dituju.
“Nibukng” yang berada di puncak bukut Samabue,adalah tujuan kami. Tempat tersebut merupakan tempat yang disebut “paburungan” bagi masyarakat kampung Silung. Disebut “Nibukng” sebab disana banyak ditumbuhi pohon Nibukng. Sejenis palem hutan yang seluruh batang pohonnya di kelilingi dengan duri yang konon beracun dan dianggap keramat. Disana juga terdapat Pohon Samabue. Menurut cerita dari pohon inilah dipakai nama samabue.pohon ini dipercaya hanya tumbuh disitu.dan dianggap keramat oleh penduduk.
Dan ritual yang dilaksanakan bermakna untuk meminta petunjuk kepada “Jubata”agar diberi petunjuk dimana tempat yang baik untuk mulai mengerjakan lahan. Disini ada dua alternatif yaitu berladang atau bersawah terlebih dahulu. Dan pilihan itu dapat diambil jika mendengar suara “Rasi” yang merupakan tanda dari “Jubata”. Berupa kicauan burung “Keto”. Jika mendengar suara rasi dari daerah atas berarti penduduk dapat mengerjakan lahan ladang terlebih dahulu. Dan sebaliknya jika rasi tersebut terdengar dari daerah bawah maka penduduk dapat memulai mengerjakan sawah terlebih dahulu.
Dipercaya bahwa jika penduduk melanggar apa yang diberitakan oleh “rasi”tesebut maka kemungkinan akan terjadi wabah yang menyerang tanaman mereka dan mereka terancam gagal panen. Oleh sebab itu mereka melakukan ritual tersebut untuk meminta petunjuk dari Jubata dan sekaligus meminta berkat perlindungan dari “Jubata” agar permintaan mereka dikabulkan.
Dalam perjalanan kurang lebih satu jam setengah.kami menelusuri kebun durian yang luas dan kebun karet yang menjadi mata pencaharian penduduk.melewati “Arokng”dan juga tebing tebing batu. Namun semua dapat di lewati. Ternyata kami bertemu dengan rombongan lain yang telah lebih dahulu berangkat, mereka membawa ayam yang nantinya akan di “sangahatn”dan berbagai perlengkapan lainnya. Akhirnya kami sampai di tempat yang kami tuju. Pohon “Nibukng”.
Disitu telah tersedia sebuah meja yang digunakan untuk menaruh berbagai perlengkapan atau sesajen. Ada “baras sunguh, baras poe,bontokng,solekng,tumpi, ampaatn” dan yang lainnya.tidak ketinggalan seekor ayam yang sudah direbus. Namun semuanya belum disiapkan. Kami harus mempersiapkannya terlebih dahulu dengan intruksi dari sang “Tuha Tahutn”. Setelah mengetahui apa yang harus dilakukan maka kami semua mulai mengerjakan apa yang harus dikerjakan, ada yang menyembelih ayam, menyiapkan air untuk memasak ayam,ada yang mengisi ruas-ruas bambu dengan air. Dan lain sebagainya.
Setelah semuanya siap maka Ne’Usu memulai ritual dengan “Sangahatn”. Suasana berubah hening sejenak mendengarkan Panyangahatn mengucakpan kata- kata doa dengan fasih dan bertempo cepat.sesekali ia mengambil berbagai benda yang ada di meja sesaji dan mendoakannya sebagai lambang persembahan bagi “Jubata”. Setelah itu ia mulai men”Calek” yaitu mengoleskan beras kuning ke kening setiap orang yang ada disitu. Setelah dianggap cukup maka Ne’usu mengakhiri ritualnya dan memberikan bagi kami berbagai sesajen yang telah didoakan, terutama benih padi yang kami bawa sebelumnya sambil mendengarkan bunyi”rasi” sebagai petunjuk bagi mereka untuk memulai mengolah lahan pertanian mereka.
Setelah itu ia menyuruh untuk memasak beberapa ekor ayam yang kami bawa untuk dimakan disitu, nah…ini saat yang ditunggu-tunggu. Makan ayam dihutan bersama orang-orang kampung. Ternyata sudah ada yang bersiap untuk memasak. Belanga telah siap dan air telah direbus.hanya tinggal mencampur ayam tersebut didalamnya. Hanya itu resep yang digunakan oleh penduduk secara turun temurun. Namun disitulah uniknya, walaupun hanya ayam rebus dicampur dengan garam dan mecin, rasanya tidak kalah dengan yang ada di luar.
Namun ada yang unuk disini, kuahnya sengaja dibuat sangat banyak. Jadi sebelum makan nasi terlebih dahulu kami menikmati kuah sayur tersebut yang dituang didalam ruas bambu yang disebut”Pokokng”. Nikmat sekali menikmati nasi dengan lauk ikan asin dan ayam rebus juga se”pokokng” kuah ayam, ditemani canda tawa bersama teman-teman dan para orang tua dan sesepuh adat di kampung. Semua perasaan yang ada terasa hilang diganti dengan rasa kebersamaan dan kegembiraan menyambut musim tanam baru. Dengan harapan baru dan semangat baru untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
“Asak, dua, talu, empat, lima, anam, tujuh...oh kita’ Jubata yang badiapm kak aik dalapm, tanah tingi, puhutn ayak, puhutn tingi. Kita’ karamat ai’ tanah nang mampu nunu ai’ sakayu, nyambong sengat. Kami bapinta kami bapadah, ame babadi kak kami talino manunsia”